Ombudsman RI Perwakilan Jawa Timur telah menemukan sejumlah indikasi kecurangan dalam pelaksanaan Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) untuk tahun 2025. Penemuan ini menunjukkan bahwa masalah dalam proses penerimaan siswa masih menjadi isu yang serius dan perlu perhatian lebih dari pihak berwenang.
Kepala Ombudsman Jatim, Agus Muttaqin, menjelaskan bahwa terdapat dugaan bahwa sejumlah siswa diterima melalui jalur tidak resmi dengan bantuan rekomendasi dari berbagai pihak, bahkan setelah masa pendaftaran resmi ditutup. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan transparansi dalam sistem pendidikan saat ini.
Indikasi Kecurangan dalam SPMB
Kecurangan dalam pelaksanaan SPMB bukanlah hal baru. Menurut Agus, praktik ini sering melibatkan lima kelompok utama: oknum legislatif atau partai politik, aparat penegak hukum, pemerintah daerah termasuk Forkopimda, organisasi masyarakat atau LSM, dan asosiasi media. Keterlibatan berbagai pihak ini memunculkan kekhawatiran bahwa proses seleksi tidak adil dan menguntungkan kelompok tertentu.
Faktanya, ketika sistem SPMB diumumkan, celah-celah dalam proses penerimaan ini mulai terlihat. Beberapa siswa yang seharusnya tidak diterima justru berhasil masuk ke sekolah-sekolah favorit. Hal ini menimbulkan pertanyaan: seberapa efektifkah sistem yang ada jika masih terdapat banyak celah yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi?
Kasus Nyata dan Dampaknya pada Siswa
Contoh yang mengejutkan terjadi di SMP Bina Bangsa Surabaya. Seorang siswa yang sudah mencabut berkas pendaftaran pada 10 Juli justru diterima di SMPN 13 Surabaya, meski pendaftaran resmi sebenarnya sudah ditutup pada 7 Juli. Ini menunjukkan bahwa meskipun aturan sudah ditetapkan, pelaksanaannya masih bisa disiasati. Agus menegaskan bahwa tidak ada jalur tambahan semacam “pemenuhan pagu” setelah sistem pendaftaran ditutup.
Sebanyak 20 laporan terkait SPMB sudah diterima Ombudsman antara Juni hingga Juli 2025. Dari jumlah tersebut, empat laporan sudah diproses, termasuk dua kasus penolakan terhadap siswa difabel yang akhirnya dapat diterima setelah jelasnya proses klarifikasi. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi, termasuk laporan informal dari siswa berprestasi tingkat nasional yang tidak diterima di sekolah negeri karena ketidakakuran data.
Transparansi dan Rekomendasi untuk Perbaikan
Dalam upaya memperbaiki keadaan, Ombudsman mendesak Dinas Pendidikan untuk mewajibkan sekolah-sekolah mengumumkan nama-nama siswa yang diterima melalui jalur yang tersedia, seperti jalur prestasi, afirmasi, dan untuk siswa difabel. Dengan adanya transparansi, kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan diharapkan dapat meningkat. Agus berpendapat bahwa data terbuka akan memberikan kejelasan mengenai pengambilan keputusan dalam penerimaan siswa.
Anggota Komisi E DPRD Jatim, Puguh Wiji Pamungkas, juga memberikan catatan bahwa meskipun banyak kritik terhadap proses ini, penggunaan platform digital untuk pendaftaran SPMB merupakan langkah positif. Namun, ia menunjukkan bahwa praktik titipan siswa masih sulit untuk dihilangkan, dan menekankan perlunya sosialisasi yang lebih baik tentang sistem yang baru ini. Pengandalan jalur afirmasi, prestasi, dan domisili harus dipahami oleh masyarakat agar sistem dapat berjalan dengan baik dan adil bagi semua siswa.
Penguatan Melalui Digitalisasi dan Edukasi
Meski ada banyak catatan kritis terkait pelaksanaan SPMB, penggunaan website resmi untuk pendaftaran bisa menjadi perubahan yang signifikan dalam mengurangi kecurangan. Puguh mengapresiasi upaya digitalisasi yang dianggap penting untuk meminimalkan kemungkinan penyalahgunaan. “Pendaftaran yang terpusat secara digital adalah kemajuan yang harus diperkuat,” ungkapnya. Dengan digitalisasi, harapan untuk sistem pendidikan yang lebih adil dan transparan semakin terbuka lebar.
Berdasarkan semua penemuan dan rekomendasi yang ada, penting bagi semua pihak untuk bekerjasama dalam menciptakan sistem SPMB yang lebih baik. Hanya dengan memastikan transparansi dan keadilan, kita dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan di Indonesia.