Puluhan anggota Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah di Jawa Timur melakukan aksi penyegelan terhadap aset koperasi mereka sebagai bentuk protes terhadap pengelolaan yang dianggap merugikan. Aksi ini membawa lambang keprihatinan dan ketidakpuasan terhadap pengurus yang dinilai kurang transparan dan akuntabel dalam menjalankan amanah yang diberikan oleh anggota.
Setibanya di Desa Tasikmadu, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, para anggota langsung memasang papan bertuliskan “pengamanan aset” pada tanah dan bangunan seluas 96 ru yang berfungsi sebagai kantor operasional koperasi. Langkah tersebut mencerminkan perasaan kesal dan ketidakpercayaan yang mendalam, membuat kita bertanya-tanya, seberapa jauh kepercayaan anggota terhadap kepemimpinan koperasi ini terguncang?
Aksi Penyegelan yang Mencerminkan Ketidakpuasan Anggota
Aksi penyegelan yang terjadi pada Selasa, 5 Agustus 2025, menjadi sorotan publik. Para anggota melakukan protes terhadap dugaan upaya penjualan aset secara sepihak oleh pengurus koperasi. Koordinator Aliansi Rakyat Peduli Trenggalek, Mustaghfirin, menyatakan bahwa penyegelan tersebut juga menandai pencabutan mandat penjualan aset yang sebelumnya disepakati dalam Rapat Anggota Tahunan (RAT). Ini menunjukkan betapa rapuhnya trust anggota terhadap pengurus.
Menurut Mustaghfirin, situasi saat ini mendorong anggota untuk mencabut mandat tersebut. “Kami khawatir aset dijual secara diam-diam tanpa persetujuan anggota,” ujarnya. Ketidakpuasan tersebut bukanlah tanpa alasan. Persetujuan yang telah disepakati dalam RAT seharusnya menjadi pedoman bersama, namun pelanggaran yang terus menerus dilakukan oleh pengurus menciptakan ketidakpercayaan yang mendalam di antara para anggota. Masyarakat sekitar mulai mempertanyakan, dapatkah koperasi bertahan jika manajemennya tidak sejalan dengan kepentingan anggotanya?
Dampak dari Ketidakpercayaan kepada Pengurus Koperasi
Kekecewaan terhadap pengurus semakin mendalam ketika seorang anggota mengungkapkan kecurigaan bahwa pengurus telah mengabaikan tanggung jawabnya. “Kami menduga pengurus telah kabur. Sampai saat ini belum ada kejelasan dari mereka,” tegas Mustaghfirin. Ketidakjelasan ini meningkatkan upaya anggota untuk melindungi hak-hak mereka, dan mereka pun melaporkan segala dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pengurus kepada pihak berwajib.
Pengalaman masa lalu yang menyakitkan menjadi penguat bagi anggota koperasi untuk bertindak lebih tegas. Sebanyak 26 anggota koperasi telah mengambil langkah hukum dengan melapor ke Polres Trenggalek atas dugaan penggelapan dana mencapai Rp32 miliar. Dugaan ini bukanlah hal sepele; praktik pencucian uang juga menjadi perhatian serius. Laporan ini menunjukkan adanya kegentingan dalam pengelolaan keuangan koperasi dan memperlihatkan betapa pentingnya transparansi dalam setiap aktivitas finansial.
Kondisi ini membuka ruang untuk dialog yang lebih transparan antara pengurus dan anggota. Ketidakpercayaan yang terjadi perlu ditemukan solusinya, dan ini bisa dilakukan dengan menerapkan mekanisme yang kuat untuk akuntabilitas. Pengurus seharusnya melakukan evaluasi dan introspeksi, serta mengkomunikasikan setiap langkah yang diambil kepada semua anggota. Hal ini penting agar tidak terulang lagi kesalahan yang sama dan agar kepercayaan dapat mulai dibangun kembali.
Akhirnya, tantangan yang dihadapi koperasi ini adalah panggilan untuk berbenah dan memberikan pelayanan yang lebih baik untuk kepentingan semua anggotanya. Kesadaran untuk menjaga aset bersama dan menjalin komunikasi yang baik menjadi landasan penting untuk memperbaiki hubungan antara pengurus dan anggota. Penting bagi semua pihak untuk memiliki komitmen yang sama dalam mewujudkan koperasi yang sehat dan berkelanjutan, agar tidak hanya sekadar menjadi tempat berkumpul, tetapi juga sebagai wadah yang memfasilitasi pertumbuhan ekonomi anggotanya.