Kasus yang melibatkan penumpang dan petugas kereta api sering kali mencuat ke permukaan, seperti yang dialami oleh seorang ibu bernama Sri Ushwa Ningrum. Dalam insiden ini, Sri menghadapi situasi tegang di Stasiun Mandai, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, ketika anak balitanya dilarang untuk menaiki kereta karena alasan tiket. Ini bukan hanya masalah tiket, melainkan sebuah cerminan tentang pelayanan publik dan empati.
Peristiwa ini terjadi pada Minggu (20/6), ketika Sri dan keluarganya memulai perjalanan dari Stasiun Pangkajene, Kabupaten Pangkep, menuju Barru-Maros. Dengan total 30 lembar tiket yang telah dipesan, mereka merasa yakin perjalanan mereka akan berjalan lancar. Namun, ada satu kejadian yang membuat semua harapan itu sirna, yaitu ketika petugas menolak anak balitanya yang tidak memiliki tiket untuk melanjutkan perjalanan.
Protes atas Kebijakan Tiket Penumpang Balita
Larangan bagi penumpang balita untuk tidak menaiki kereta jika tidak memiliki tiket menciptakan ketegangan antara penumpang dan petugas. Sri merasakan hal ini secara langsung. Ketika mereka tiba di Stasiun Mandai, Sri dan keluarganya langsung menghadapi situasi yang tidak terduga. “Sesampainya di Stasiun Mandai, petugas melarang anak kami yang masih kecil ikut naik kereta karena tidak punya tiket,” ungkapnya. Situasi ini memunculkan pertanyaan; seharusnya berapa banyak perhatian yang diberikan kepada penumpang, terutama anak-anak yang memang belum bisa membeli tiket sendiri?
Sri merasa upayanya untuk meminta keringanan tidak diterima. Dia bahkan bersedia membayar lebih mahal agar anaknya tetap bisa ikut di dalam kereta. Namun, semua usaha itu ditolak mentah-mentah. “Yang membuat kami tersinggung adalah saat petugas mengatakan, ‘anak ini tidak bisa ikut, tiket sudah habis, simpan saja di sini’,” jelasnya. Kebijakan rigid seperti ini mengundang protes dan ketidakpuasan dari banyak penumpang, menandakan perlunya evaluasi kebijakan yang lebih inklusif dan ramah keluarga.
Membangun Empati dalam Pelayanan Publik
Dari kasus Sri, banyak pelajaran yang bisa diambil tentang bagaimana pelayanan publik seharusnya berfungsi. Petugas, yang seharusnya menjadi pelayanan publik, malah menunjukkan perilaku yang dianggap merendahkan penumpang. “Cara bicara petugas sangat tidak sopan, seperti merasa paling benar. Di situlah kami mulai emosi,” tutupnya. Hal ini menonjolkan pentingnya komunikasi yang tepat dalam layanan pelanggan, termasuk empati dan kepekaan terhadap situasi yang dihadapi oleh penumpang.
Bahkan meski kericuhan sempat terjadi, para petugas keamanan berhasil meredam situasi tersebut. Pihak keamanan akhirnya mengizinkan Sri dan keluarganya untuk kembali ke Pangkep menggunakan kereta. Namun, dalam perjalanan pulang, mereka menghadapi kendala baru; kereta sudah penuh. Akhirnya, Sri dan keluarganya memilih pulang menggunakan layanan transportasi online. “Kami sangat kecewa dengan pelayanan KAI. Akhirnya kami pulang ke Pangkajene menggunakan mobil Maxim,” ujar Sri dengan nada mengecewakan.
Sewaktu menghadapi masalah seperti ini, harapan akan adanya peningkatan layanan publik di era yang semakin modern menjadi sangat penting. Masyarakat harus berani menyuarakan ketidakpuasan mereka, sekaligus diharapkan agar pihak pengelola layanan publik lebih berempati dan memahami kondisi setiap penumpang, terutama di situasi yang tidak terduga.