Kementerian Agama tengah mempersiapkan regulasi yang akan mengatur keberadaan dan pengelolaan rumah doa. Upaya ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi masyarakat, agar kejadian yang tidak diinginkan, seperti insiden di sebuah desa di Jawa Barat, tidak terulang di kemudian hari.
Beberapa waktu lalu, terjadi insiden di mana sebuah rumah doa dirusak oleh sekelompok orang. Aksi yang terjadi di Desa Tangkil, Sukabumi, pada 27 Juni 2025 tersebut menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh komunitas yang tidak memiliki pengaturan yang jelas mengenai rumah ibadah non-tradisional.
Pentingnya Regulasi untuk Rumah Doa
Kementerian Agama melihat urgensi untuk menerbitkan regulasi karena selama ini belum ada ketentuan yang jelas mengenai rumah doa dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM). PBM yang ada saat ini hanya mencakup tempat ibadah seperti masjid, gereja, pura, vihara, dan klenteng, tetapi tidak memperhitungkan keberadaan rumah doa yang bersifat privat atau digunakan dengan terbatas.
Regulasi yang akan diterapkan diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi rumah doa, sehingga setiap masyarakat dapat menjalankan ibadahnya tanpa ketakutan akan tindakan intoleran yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan di lingkungan sekitar. Hal ini menjadi penting untuk menjamin hak beribadah yang diatur dalam konstitusi, namun tetap memperhatikan kepentingan masyarakat secara umum.
Strategi dan Pendekatan untuk Mengatasi Konflik
Dalam rangka penyusunan regulasi tersebut, Kementerian Agama telah melakukan Focus Group Discussion (FGD) dengan beragam pemangku kepentingan dari berbagai latar belakang agama. Diskusi-diskusi ini bertujuan untuk mendalami istilah rumah doa dan mencari kesepakatan mengenai definisi dan pengaturannya.
Hasil dari FGD menunjukkan bahwa pemahaman dan penggunaan istilah rumah doa tidak seragam di kalangan agama-agama yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk menyusun kerangka regulasi yang inklusif dan dapat diterima oleh semua pihak. Dengan demikian, regulasi ini tidak hanya berfungsi sebagai payung hukum, tetapi juga sebagai sarana untuk mendorong dialog dan toleransi antarumat beragama.
Kementerian Agama juga mendorong pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang aktif dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan perbedaan keyakinan. Dengan adanya pendekatan kolaboratif antara pemerintah pusat dan daerah, diharapkan semua pihak dapat bekerja sama dalam menciptakan suasana yang kondusif untuk beribadah.
Insiden kekerasan yang terjadi di Sukabumi seharusnya menjadi pelajaran berharga. Pada kasus tersebut, kegiatan keagamaan yang dilakukan di sebuah rumah yang sebelumnya tidak diperuntukkan sebagai tempat ibadah, berujung pada protes masyarakat yang menolak adanya kegiatan ibadah di wilayah mereka. Ini menunjukkan pentingnya komunikasi yang baik dan sikap saling menghargai antarwarga.
Kementerian Agama berharap regulasi yang sedang disusun bisa mengakomodasi semua kepentingan dan menjadi solusi untuk menjaga kerukunan di tengah masyarakat yang beragam. Dengan langkah ini, diharapkan setiap pihak dapat menemukan cara untuk menyelesaikan perbedaan secara damai, tanpa harus melibatkan kekerasan.
Diharapkan pula, regulasi ini bisa menjawab tantangan dinamika masyarakat Indonesia yang kian kompleks, serta menjadi indikator bagi kebijakan publik yang lebih adil dan merangkul semua elemen masyarakat. Kementerian Agama berkomitmen untuk menjaga hak beribadah warga negara, melindungi kebebasan beragama, dan menciptakan kehidupan yang harmonis di tengah keragaman.